Lelah adalah kata
yang takada dalam kamusnya
ketika sedang berada di sebelah
Sang Belahan Jiwa
Lelah itu sirna saat melihat dirinya bahagia melakukan perjalanan jauh berdua. Menyaksikan pertumbuhan Kakak dan Adik di Pesantren lalu berjalan menikmati perjalanan yang selalu saja menakjubkan. Langit biru yang memerah dengan awan berarak sementara di selatan muncul pelangi yang menghangatkan hati.
Sosok Itu dan Sang Belahan Jiwa tidak hanya hidup bersama di dalam rumah, tetapi juga lebih banyak berbagi di perjalanan yang panjang nan melelahkan. Mengukur aspal bersama-sama, menghirup debu yang sama, atau menggigil bersama saat kehujanan hingga kuyup sekujur badan. Tidak hanya di Bandung saja, tetapi juga perjalanan antarkota yang tidak mengenal waktu.
Pagi, siang, sore, tengah malam, subuh, dan lanjut ke pagi lagi. Tidur di pom bensin, masjid, hotel, kos-kosan harian, atau bahkan di bangku panjang warung kosong di tepi jalan. Jakarta, Bandung, Tasik, Jogja, dan seterusnya. Saling berbagi dan bercerita dalam perjalanan yang pastinya menguras emosi itu jauh lebih mengena di hati dibanding saat bercerita di dalam rumah. Saling merasa miris atau bahkan sebaliknya ... tertawa bahagia.
Gak peduli hanya beberapa lembar uang dua ribuan di saku atau bahkan pernah membawa receh 500-an yang banyak karena tidak adanya uang bernominal besar. Bercerita saat memandang hijaunya sawah. Mendongeng di tengah gelapnya malam sambil berpelukan erat karena hujan deras yang takkunjung usai. Atau bergelimpangan begitu saja di teras pom bensin saking lelahnya. Semua dijalani selama belasan tahun bersama.
Agustus 2000, sosok itu dan sang belahan jiwa mengukuhkan kedekatan menuju gerbang pernikahan di Masjid Al-Kautsar Sumbawa. Padahal baru kenal pada 1999 di Masjid Salman ITB. Sosok itu masih berstatus mahasiswa gak jelas dan sang belahan jiwa baru lulus SPK (setingkat SMA). 2001 akhir mewacanakan lamaran. Februari 2002 melamar meski hanya mengajak kedua orang tua saja. 9 September 2002, terlaksana akadnya. Alhamdulillah.
Perayaan hari pernikahan bagi sebagian orang bisa jadi sangat istimewa. Begitu juga bagi sosok itu dan sang belahan jiwa. Namun seringnya tidak ada perayaan resmi atau aktivitas romantis yang serba-wah. Hanya saling bercerita bagaimana mengarungi bahtera rumah tangga selama ini. Dari takpunya menjadi punya, dari punya menjadi takpunya. Tawa, kesal, marah, tangis, sedih, dan semua perasaan sudah bercampur dalam sejarah pernikahan mereka berdua.
Benar bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna, yang ada hanyalah saling memaklumi dan menutupi kekurangan pasangan dengan kelebihannya. Namun ada satu hal yang disepakati bersama, bahwa pernikahan itu proses pembelajaran. Belajar tiada henti. Dan mereka berdua menyepakati tiga poin penting: Ikhlas, Sabar, dan terus ber-Usaha. Jika ditanya apa yang sudah dicapai?
Pembelajaran hidup bahwa keberhasilan seseorang (sadar tidak sadar) ditentukan oleh pasangan yang terus menyemangati. "Da aku mah apa atuh!" Manusia itu nothing. Benar bahwa seseorang bisa berhasil karena kerja kerasnya, karena ketekunannya. Akan tetapi selalu ada Sang Maha di belakang layar. Juga tentunya ada orang terdekat, yang sering tidak disadari keberadaannya, yang acapkali terlupakan.
Sang belahan jiwa adalah pelita semangat yang terus membakar upayanya agar jangan menyerah, meluruskan jalannya agar tak berbelok. Dari awal hingga sekarang. Orang pertama yang merasakan kebahagiaan saat menerima honor pertamanya di media massa. Yang paling mengetahui berapa ratus penolakan dan kekalahan yang harus diterima. Sang belahan jiwa laksana Tenzing Norgay yang menemani Sir Edmund Hillary saat menaklukkan Gunung Everest.
Terima kasih, Sang belahan jiwa. Tanpamu, sosok itu bukanlah apa-apa. Tanpa kehadiranmu, dia tidak akan menjadi orang yang seperti sekarang. Anak-anak yang kini sedang berjuang mencari ilmu di pesantren, adalah saksi kedekatan mereka berdua. Alhamdulillah ya, Rabb. Happy Anniversary, Hon. SMS. Mari terus bergandengan tangan dan saling mengingatkan. Sekali lagi ... hatur nuhun. Love you.[]
0 Comments