Teu Nyawah Asal Boga Pare
Teu Boga Pare Asal Boga Beas
Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu
Teu Nyangu Asal Dahar
Teu Dahar Asal Kuat
Manusia itu dalam hidupnya harus dipenuhi rasa syukur. Itulah mengapa masyarakat di Kampung Adat Cireundeu memiliki filosofi seperti yang dituliskan di atas. Meski tidak memiliki sawah, diusahakan tetap memiliki padi. Kalau tidak punya padi, ya usahakan harus punya beras. Bagaimana kalau tidak punya beras? Tetap diusahakan bisa memasak nasi. Kalau tidak masak nasi, harus tetap bisa makan. Kalau tidak makan, gimana caranya tetap kuat. Usaha terus, jangan pantang menyerah. Terus dan tetap bersyukur.
Kampung Adat Cireundeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Luas kampung ini diperkirakan mencapai 64 hektar yang terdiri atas 60 hektar untuk pertanian dan sisanya untuk pemukiman. Jumlah warga yang tinggal di pemukiman tersebut sekira 800-an jiwa. Mereka sebagian besar bermata pencaharian dengan bertani, terutama singkong. Makanya tidak heran kalau masyarakat di sana tidak lagi mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok selama 100 tahun.
Lalu dari mana mereka mengganti nasi sebagai makanan pokok? Ternyata ya dari olahan singkong itu. Namanya RASI atau beRAs SIngkong. Proses sederhananya: singkong direbus, lalu ditumbuk hingga hancur dan merata. Hasilnya dijemur selama 2-3 hari. Hasil keringnya bisa dijadikan seperti nasi atau bahkan rasi goreng. Rasanya ternyata tidak jauh berbeda dengan kandungan serat tinggi tetapi kadar gulanya sedikit. Sehat pisan pastinya. Sosok itu sendiri sudah mencobanya selama dua hari kemarin.
Sejarah Rasi dan Cirendeu
Rasi ini merupakan upaya para pendahulu Kampung Adat Cireundeu dalam bertahan hidup. Konon katanya semua dimulai dari Haji Ali yang menginginkan agar warga tidak bergantung pada beras yang saat itu terjadi krisis pangan karena dikuasai oleh Belanda. Mereka kemudian mengolah singkong agar bisa dijadikan makanan pokok. Ibu Omah Hasmanah, menantu Haji Ali, kemudian berhasil menemukan rasi dari ampas pembuatan aci. Agar ketersediaan singkong tetap terjaga, mereka menanamnya dengan jarak tertentu.
Cireundeu berasal dari nama “Reundeu”, yaitu sejenis pohon (Staurogyne longata) yang dapat digunakan sebagai bahan obat herbal (mampu mengobati nyeri sendi dan sulit buang air kecil). Daun reundeu mengandung senyawa fenol dan flavonoid yang dapat menangkal radikal bebas. Daun reundeu muda bisa dijadikan lalapan hanya bagian yang muda. Jawa Barat memang sudah terkenal dengan banyaknya tanaman yang daunnya bisa dijadikan lalapan.
Tanah di Kampung Adat Cireundeu terbagi menjadi 3 (tiga) hutan atau leuweung yang fungsinya disesuaikan dan tidak boleh disalahgunakan. Ada 'Leuweung Baladahan' (hutan pertanian) yang fungsinya digunakan untuk bercocok tanam. Sistemnya adalah tumpang sari. Paling utama adalah tanaman singkong yang menjadi makanan pokok. Sisanya ditanami jagung, kacang tanah, umbi-umbian, dan juga buah-buahan semacam pisang dan pepaya.
Lalu ada 'Leuweung Tutupan' yang hasil hutannya dapat digunakan oleh masyarakat sekitar. Hanya saja mereka harus menanam kembali pohon baru sebagai gantinya. Tidak heran kalau hutan ini disebut juga dengan hutan reboisasi. Luas hutan ini mencapai 2-3 hektar. Terakhir ada 'Leuweung Larangan' (hutan terlarang), yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat Kampung Adat Cireundeu.
Nah, saat sosok itu bersama rombongan GenPI Jawa Barat (termasuk anak-anak Pramuka, Purna Paskibraka, dan HPI dari Cimahi) mau trekking ke Puncak Salam, ada satu jalan ke kanan dan lumayan nanjak. Di sana katanya ada Mata Air Nimas Ende yang menjadi sumber air bagi warga Kampung Adat Cireundeu. Airnya memang masih jernih dan layak minum langsung (tanpa dimasak). Dia sendiri mencoba meminumnya dan memang masih segar. Untuk menjaga kesuciannya, wanita yang sedang haid tidak boleh ke sana.
Untuk mendaki ke Puncak Salam, tidak sembarangan. Daerah yang melingkupinya adalah Leuweung Larangan, sehingga jika ingin ke sana harus 'nyeker' alias tanpa alas kaki dan juga didampingi oleh salah satu warga yang ditunjuk. Kebetulan sosok itu dan rombongan ditemani oleh Kang Jajat dan Kang Tri. Orang yang muncak juga dilarang mengenakan pakaian berwarna dominan merah karena merah itu simbol api atau hawa nafsu. Sedangkan 'nyeker' adalah simbol bahwa alam mampu membaca sifat manusia melalui saraf kaki.
Konsepnya begini ... bahwa masyarakat adat di sana percaya kalau 'Tuhan nu ngasih, Alam nu ngasah, Manusia nu ngasuh'. Tuhan sudah memberikan alam untuk bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh manusia. Manusia harus menjaga alam yang menghidupinya. Tidak boleh ada jarak antara alam dan menusia. 'Nyeker' adalah salah satu cara agar hubungan manusia dan alam itu begitu dekat, begitu akrab. Bahkan saat trekking ke Puncak Salam pun ada upacaranya dengan berdoa sambil duduk dan memainkan karinding.
Konsep ini mirip dengan perkataan David Keith Orton, seorang aktivis lingkungan hidup dari Kanada. Katanya, "Kitalah yang seharusnya mengurus hutan, bukan hutan yang mengurus kita. Jika engkau ingin pohon tetap berdiri, engkau seharusnya berdiri bersama pohon." Sudah banyak kejadian dimana manusia merusak alam/hutan/pohon maka bencana akan datang menghampiri. Manusia memang harus dapat mengasuh alam yang sudah disediakan Sang Maha.
“Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” adalah prinsip warga Kampung Adat Cirendeu. “Ngindung Ka Waktu” menunjukkan bahwa warga kampung adat memiliki cara, ciri, dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” menunjukkan bahwa masyarakatnya tidak melawan perubahan zaman sehingga teknologi seperti listrik, televisi, atau alat komunikasi tidak terlarang dan masih dapat digunakan. Mereka dapat berbaur dengan dunia luar, tetapi tetap tidak makan nasi dan turunannya.[]
0 Comments