Sebening tetesan embun pagi | Secerah sinarnya mentari
Bila kutatap wajahmu, Ibu | Ada kehangatan di dalam hatiku
(Ibu, dinyanyikan oleh Sakha)
Ibu, (menarik napas panjang) ... asli, bingung harus memulai dari mana. Gambaran sosok Ibu begitu cemerlang. Hati ini terasa hangat, dan juga bergejolak. Manis di beberapa bagian, bahkan mayoritas, tetapi pahit begitu mengetahui bahwa Ibu tidak ada lagi. Beberapa terekam begitu jelas, beberapa tampak seperti slide yang bergerak cepat, dan beberapa tampak suram. Ibu ... ah, lelaki seperti gue pun bisa menangis. Maaf.
Yang diingat pada siang menjelang sore itu adalah suasana kamar yang temaram. Tidak hanya adik gue yang menangis di atas tempat tidur, tetapi juga gue sendiri. Adik gue menangis wajar, namanya juga perempuan. Gue? Entahlah. Gue waktu itu masih duduk di kelas 5 atau 6 SD. Dan semuanya itu hanya karena Ibu sedang tidak berada di rumah, sedang ada urusan di luar. Entah menghadiri pengajian, entah arisan. Padahal Ibu pergi hanya sebentar.
Waktu berkelebat begitu cepat, dan yang gue inget adalah saat duduk di bangku mahasiswa, tepatnya semester tiga di Farmasi ITB. Gue yang lagi asyik ngobrol dengan teman di sebelah tiba-tiba saja dikejutkan oleh panggilan Lany, teman gue. Wajahnya tidak cerah seperti biasanya. Katanya, “Wi, Ibu kamu sakit. Kamu disuruh pulang!” Bu, saat itu pun gue langsung berlari ke luar kampus, berlari ke kosan, lalu berlari lagi ke terminal bus, nggak sabar ingin cepat sampai ke Jakarta.
Banyak wajah tegang yang gue temui di sana, lalu berlari lagi ke RS Mediros. Lokasinya tinggal menyeberang jalan dari Komp. PT HII. Di luar ruangan ICU, jantung gue langsung berhenti. Saudara-saudara gue langsung memeluk. Bapak juga. Bulek Anik menangis di pundak gue. Gue lalu diantar ke ruangan ICU. Dari balik pintu, gue melihat Ibu yang berbaring. Ada banyak selang di sana. Gue menguatkan diri, kemudian masuk perlahan. Kaki ini terasa diganduli beban yang amat berat.
Bu, gue ... ah, nggak pantas berbicara denganmu dengan menyebut diri ini 'gue'. Aku menangis, Bu. Bukan hanya airmata yang begitu saja jatuh, tapi hati ini tampaknya juga lumer. Tanganmu masih ada sedikit kehangatan, Bu. Aku menggenggamnya erat. Perlahan, kudekati wajahmu, Bu. Kukecup pipi dan dahimu dengan penuh kasih, lalu berbisik di telingamu, “Bu, ini Agus. Ini Agus, Bu....” Selebihnya aku malah bertambah sesenggukan.
Tanganmu tiba-tiba bergerak, meremas tanganku. Badanmu bergerak seolah ingin berontak. Tapi ... tapi matamu tak jua membuka. Padahal, itu yang sangat kuharapkan. Menatap matamu yang teduh. Stroke tampaknya telah menghancurkan semua syaraf wajahmu, Bu. Aku menangis lagi.... Aku masih ingat benar beningnya matamu. Mata cahaya yang penuh ketulusan. Indahnya senyummu meski kata orang bentuk gigimu tidaklah bagus. Seksinya bentuk tubuhmu walaupun kata orang terlalu gemuk.
Aku nyaman bersamamu, Bu. Akulah yang kata saudara-saudara paling dekat denganmu. Akulah yang katanya penyebab Ibu punya sakit darah tinggi karena saat kelahiranku, kau mengalami pendarahan yang amat hebat sehingga menghasilkan tensi yang luar biasa. Akulah anak yang sering sakit-sakitan semenjak kecil hingga sempat terbersit tak akan bisa menikmati masa dewasa, masa kuliah, masa menikah, dan masa menjadi orangtua.
Masih teringat senyum manismu dan cerah wajahmu saat mengetahui aku lulus UMPTN dan diterima di ITB. Engkau sebarkan berita bahagia itu ke penjuru komplek perumahan. Orangtua mana yang tidak bangga anaknya diterima di perguruan tinggi bergengsi sementara belum ada anak orang lain di komplek perumahan yang bernasib sama. Apalagi aku adalah anak pertama yang bisa kuliah, padahal aku adalah anak kelima.
Aku masih ingat semangatnya dirimu saat mengantarkanku sendiri ke Bandung. Kota yang tidak kukenal sama sekali. Menemaniku membeli lemari baju dan beberapa perlengkapan lainnya sebelum melepasku sendirian di kota asing ini. Semalaman ... aku menungguimu di ruangan ICU. Terus membisikkan kata-kata dan doa. Membisikkan ayat-ayat suci Al-Quran. Menggenggam erat tanganmu, tak mau lepas. Khawatir itu untuk yang terakhir kalinya.
Di sampingku, Bapak juga menemani. Wajahmu tampak kesakitan. Tubuhmu bergerak dan meronta. Entah apa yang ada di pikiranmu, Bu. Di koridor rumah sakit keesokan harinya, bukan hanya aku yang menangis. Semua keluarga menangis. Hingga akhirnya Mas Heru, kakak pertamaku, membuka suara, “Tampaknya kita semua harus ikhlas melepasnya. Ibu tampak kesakitan, dan keikhlasan kitalah yang bisa membebaskan Ibu.”
Mendengar hal itu entah mengapa aku sependapat. Beberapa kepala pun tampak mengangguk. Kami semua sudah ikhlas, Bu. Aku pun sudah ikhlas. Pada saat itulah aku merasakan kelegaan yang amat luar biasa. Atas anjuran keluarga, aku diminta untuk kembali ke Bandung. Kondisi Ibu sudah membaik, tidak lagi meronta-ronta atau sekadar bergerak tidak jelas. Meski masih kritis, paling tidak kondisi Ibu saat itu sudah agak tenang.
Aku pun kembali ke Bandung, Bu, meneruskan jadwal perkuliahan yang memang padat. Rabu sore di ITB, 13 November 1996, aku masih menonton teman-teman yang sedang bermain basket. Dalam perjalanan pulang, entah mengapa aku ingin menelepon ke rumah. Baru menyapa sebentar, Mas Mustofa (kakak iparku) sudah langsung menyuruhku pulang. Aku sudah paham. Meski hatiku menangis, airmataku tidak keluar. Aku sudah ikhlas.
Perjalananku ke Jakarta terasa lama. Sampai di Kampung Rambutan, aku tidak sabar dan langsung menaiki bus menuju Pulogadung. Dari Pulogadung aku langsung naik ojek. Pukul satu malam aku baru tiba di komplek perumahan. Belum sampai rumah, aku sudah dihadang Mas Edy, kakak pertamaku yang berbeda bapak, langsung menuntunku ke sebuah mobil. Jenazah Ibu sudah berangkat ke Madiun. Aku yang paling terakhir ditunggu.
Bu, mungkin kemurahan Sang Maha-lah yang bisa mempertemukanku denganmu sebelum dikebumikan. Mobil yang kutumpangi ternyata lebih dahulu sampai di Madiun dibandingkan ambulan yang membawa jasadmu. Aku masih bisa melihat wajahmu yang tenang di sana. Wajahmu tersenyum, Bu. Aku pun bahagia bisa menshalatkanmu. Lalu mengantarkan dan menyaksikan pemakamanmu secara lengkap, ditemani gerimis dan azan maghrib. Aku sudah ikhlas, Bu.
Sudah 26 tahun engkau meninggalkanku, Bu. Engkau tidak tahu bagaimana aku menangis saat Fitri, adikku, diwisuda. Aku menangis karena aku rela mengundurkan diri dari bangku perkuliahan karena keuangan keluarga yang tidak stabil. Aku hanya ingin Fitri berhasil lulus kuliah. Aku mengalah. Aku tidak tahu bagaimana caramu mengatur keuangan keluarga. Meski lulusan SMP, engkaulah akuntan sejati yang bisa mengatur keuangan keluarga.
Kini, menjelang 20 tahun aku berumah tangga dan engkau pun tidak tahu kalau aku sudah dikaruniai dua orang putri. Bahkan, aku tidak percaya bahwa nama belakang istriku mirip dengan nama belakangmu, Bu. Siti Kumayah dengan Umi Umayah. Bu, engkau tidak tahu bagaimana aku kini sudah bisa melemparkan tiga bola secara bergantian bak pemain sirkus. Engkaulah yang mengajariku saat aku duduk di bangku SMP.
Kakak Bintan dan Adek Anin, cucu-cucumu, sangat senang jika aku memainkannya. Aku pun masih mengingat dengan jelas bagaimana engkau mengendap-endap dan tiba-tiba saja langsung membasahi wajahku dengan ludahmu. Aku yang sedang terlelap spontan langsung berlari terbirit-birit ke kamar mandi dan mencuci muka. Saat itu aku jijik. Itulah caramu agar aku tidak bangun kesiangan. Kini aku merindukan air liurmu di wajahku, Bu.
Terlalu banyak memori indah yang bisa diceritakan di sini, Bu. Tetapi semua itu tidak akan terasa cukup. Tidak akan cukup untuk menuliskan semua kebaikan dan jasamu. Bahkan, tidak akan cukup meski sudah membalas dengan semua materi yang ada di dunia ini. Tidak akan pernah cukup. Pesan untukku untuk semua pembaca, "Selalu ingatlah dengan kebaikan dan keikhlasan seorang ibu yang telah merawat dan menyayangi Anda tidak hanya sejak dari lahir, tetapi juga dari masa sebelum dan masa kehamilannya.".
Maafkan anakmu, Bu. Sungguh, aku rindu padamu. Entahlah, sudahkah aku berbakti padamu, Bu? Allahummaghfirlaha warhamha wa'afihi wafu'anha....[]
Oh ibuku engkaulah wanita | Yang kucinta selama hidupku
Maafkan anakmu bila ada salah | Pengorbananmu tanpa balas jasa
Ya Allah ampuni dosanya | Sayangilah seperti menyayangiku
Berilah ia kebahagiaan | Di dunia juga di akhirat
0 Comments